Sabtu malam yang kelabu. Langit tidak kunjung berhenti mencurahkan air sejak sore tadi. Mendinginkan Denpasar yang biasa ditemani panas matahari. Di hari yang sendu ini, saya tidak sedang termenung sambil menikmati secangkir teh hangat, melainkan baru saja pulang nonton konser yang dibintangi oleh Kunto Aji. Bukan rebahan hal yang pertama kali saya lakukan ketika masuk ke kamar, tetapi menyalakan laptop dan segera menuliskan ide-ide yang ada di kepala.
Album mantra-mantra Kunto Aji bagi saya memiliki ceritanya sendiri. Dia hadir menjadi teman disaat bertahan adalah hal yang sulit dilakukan. Ingat sekali, saya pernah patah hati. Tidak mudah untuk melewati sisa hari di penghujung tahun lalu. Sedih, kecewa, dan marah adalah emosi yang bergantian mengisi. Saya merasa kosong karena separuh jiwa diambil oleh dia yang menghilang. Tidak percaya diri dan merasa hidup sudah tidak ada gunanya lagi. Hingga merasa bahwa bahagia adalah sebuah kemewahan yang tidak pantas saya rasakan.
Seribu pertanyaan muncul di kepala. Si penjahit pandir kembali menguasai, menggumpal benang dengan sembarang sehingga kusut dan sulit diurai. Siapa pun tahu, membiasakan diri setelah kehilangan bukan hal yang mudah. Perlu kerja keras dan tekad kuat untuk kembali jadi diri yang baik-baik saja. Namun, bagaimana caranya? ketika keinginan untuk bertahan pun tidak ada. Capek. Dan ingin menyerah.
Ketika air mata menjadi teman sehari-hari, bahagia seperti tidak tahu diri. Menghilang dan tidak ada tanda kembali. Bukan bermaksud meromantisasi patah hati, nyatanya tidak mudah untuk mengobati hati yang pernah terluka, lagi dan lagi.
Hampir setiap hari lagu rehat dari Kunto Aji adalah satu-satunya teman penghibur di masa yang suram. Saat itu saya merasa bahwa saya perlu ditenangkan. Saya perlu seseorang mengatakan bahwa “ini bukan salahmu” dan “kamu akan baik-baik saja”.
Sampai saya pada waktu menuliskan ini. Saya datang ke konser tanpa ekspektasi apa-apa. Cukup lah hari ini bumi puas meresap air dari langit, tapi jangan dari mata. Selama album mantra-mantra dinyanyikan, untuk pertama kalinya saya merasakan hal yang berbeda. Lagu-lagu itu tidak lagi mengingatkan saya akan sakitnya kehilangan, tetapi mengingatkan saya akan perjuangan. Jatuh, bangun, jatuh lagi, bangun lagi, siklus hidup tidak stabil yang saya alami selama lima bulan ke belakang. Hingga akhirnya saya merasa bangga ada di titik ini. Titik dimana saya bisa merasa baik-baik saja, menerima patah hati sebagai memori dan membenarkan kalimat mas Adjie tentang yang menyakitkan adalah berkah kehidupan.
Sepanjang jalan pulang yang dipenuhi kabut dengan warna bias lampu jalan, aspal yang basah, bau petrikor, serta suara sayup deburan ombak menenangkan, senyum tak luput pudar dari wajah ini. Saya merasa lega. Malam panjang yang menjadi refleksi, tentang kilas balik perjuangan sembuh dari luka.
Hidup memang tentang belajar. Ujian tidak berhenti di satu patah hati. Saya yakin semesta punya kejutan-kejutan lain untuk memanusiakan manusianya. Kecewa, sedih, dan marah, itu wajar. Toh manusia nggak akan tahu gimana rasanya bahagia kalau nggak pernah sedih, nggak tahu gimana rasanya bersyukur kalau nggak pernah kehilangan, nggak tahu gimana rasanya baik-baik aja kalau nggak pernah menderita. Sebuah dualisme kehidupan, dan refleksi diri yang patut dilakukan.
Untuk siapa pun yang pernah, atau sedang merasakan patah hati. Percayalah, semua akan baik-baik aja.
Selalu ada matahari setelah hujan. Kalau bukan matahari, mungkin bulan.